Latar Belakang Perencanaan dan Pembangunan
Pembangunan merupakan sebuah kegiatan kolosal, memakan waktu yang panjang, melibatkan seluruh warganegara dan dunia internasional yang menyerap hampir seluruh sumber daya bangsa-negara (Mahatmi & Wrihatnolo). Pembangunan sebagai perbuatan yang sangat sulit sehingga diperlukan bentuk manajemen agar pembangunan yang dilakukan termenejemeni.
Kata manajemen sendiri merupakan suatu proses dengan mana pelaksanaan suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi (Encylopedia of the Social Science). Sehingga disini manajemen menyiratkan adanya proses yang berkesinambungan yang perlu dimulai dari perencanaan, kemudian pelaksanaan dan diakhiri dengan pengendalian. Jelas bahwa, perencanaan menjadi sangat fundamental karena perencanaan yang menentukan arah, prioritas dan strategi pembangunan. Apabila perencanaan dilakukan dengan baik, maka pembangunan telah melewati separuh jalan, karena sisanya hanya tinggal melaksanakan dan mengendalikan. Sepanjang pelaksanaan dilakukan secara konsisten terhadap apa yang telah direncanakan, proses pengendalian dalam pembangunan pun menjadi efektif yang dimana faktor-faktor pengganggu tidak banyak muncul, sekalipun muncul tidak akan memberikan pengaruh yang dapat membiaskan tujuan pelaksanaan pembangunan.
Disini, perencanaan pembangunan adalah pekerjaan yang maha sulit karena selalu bersinggungan dengan banyak aspek (tidak hanya aspek ekonomi dan sosial). Apalagi bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia pekerjaan pembangunan yang dilakukan masih untuk menanggulangi kemiskinan. Karena kemiskinan di Negara Berkembang bagai lingkaran setan (Kunarjo, 2000,2-3). Menurut Kunarjo, dalam lingkaran setan kemiskinan, pokok pangkal kemiskinan adalah pendapatan yang rendah. Pendapatan yang rendah bukan hanya mempengaruhi tingkat pendidikan, tetapi juga mempengaruhi kesehatan yang rendah sehingga produktivitas sumber daya yang ada juga menjadi rendah. Oleh karena itu, untuk memutus lingkaran setan tersebut perencanaan pembangunan lah yang mengambil alih tugas memutuskan kemisikinan yaitu tugas untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang tersedia.
Sehingga bila kita membicarakan perencanaan pembangunan sudah semestinya mengenal dasar pemikiran yang melandasinya. Berawal dari ahli eknonom John Maynard Keynes yang mengungkapkan perlunya campur tangan pemerintah dalam perekonomian karena koreksi atas sistem ekonomi pasar tanpa adanya campur tangan pemerintah. Sistem ekonomi pasar berasumsi bahwa peranan pemerintah haruslah seminimal mungkin bahkan sebisa mungkin tanpa campur tangan dari pemerintah sama sekali. Kalaupun pemerintah harus berkiprah dalam perekonomian, terbatas hanya pada kegiatan yang tidak atau belum bisa dilakukan oleh swasta. Dengan mekanisme ini dipercaya bahwa antara penawaran (supply) dan permintaan (demand) akan mencapai keseimbangannya sendiri, dengan bantuan the invisible hand.
Pada prakteknya asumsi tersebut tidaklah menjadi kenyataan, banyak faktor yang berperan dan mempengaruhi mekanisme pasar. Faktor-faktor inilah yang mengakibatkan kegagalan atau distorsi pada mekanisme pasar. Misalnya saja ketidaksetaraan informasi, timbulnya monopoli, eksternalitas dan yang paling terasa adalah adanya barang yang dikenal sebagai public goods dimana barang ini sama sekali tidak bisa mengikuti mekanisme pasar. Sifat dari barang umum (public goods) ini adalah; (1) umum (non excludable) dan (2) tak ada tandingan (non-rivalry). Barang ini hanya dapat disediakan oleh pemerintah. Selain itu juga tugas pemerintah adalah melindungi mereka yang tidak mampu dalam ekonomi pasar, antara lain si miskin. Sehingga dari hal tersebutlah, yang kemudian diperlukannya campur tangan pemerintah dalam pembangunan, karena dengan adanya campur tangan pemerintah, menanggulangi kemisknan yang merupakan tujuan pembangunan dapat teratasi. Campur tangan pemerintah ini diwujudkan dengan regulasi/intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan publik berupa berbagai jenis peraturan perundangan.
Dari latar belakang inilah yang kemudian melandasi perencanaan pembangunan di Indonesia melibatkan pemerintah dalam pelaksanaannya karena tujuan yang ingin diraihnya.
Perencanaan Pembangunan di Indonesia
Berbicara mengenai perencanaan pembangunan di Indonesia, bangsa ini baru secara sungguh-sungguh memulainya di era Orde Baru. Pada era ini, tepatnya pada tahun 1952 terbentuklah suatu Biro Perancang Negara dibawah Kementrian Negara Urusan Pembangunan. Biro ini berfungsi dalam merencanakan Pembangunan Lima Tahun yang kemudian biro ini berubah namanya menjadi Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang tugasnya masih sama dalam merencanakan pembangunan nasional. Depernas inilah yang merupakan tonggak sejarah berdirinya Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).
Bappenas pada era Orde Baru diamanahi tugas untuk membuat rencana pemulihan ekonomi sebagai akibat terjadinya kehidupan politik bangsa negara yang saat itu sangat kacau dan semrawut (adanya peristiwa G 30 S/PKI). Bappenas menghasilkan suatu rencana yang saat itu bernama Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), untuk kurun waktu tahun 1969 sampai dengan tahun 1973. Era Repelita telah berlangsung sampai dengan Repelita ke VI yang berakhir pada tahun 1998. Proses perencanaan Repelita ini selalu didasarkan kepada GBHN yang dihasilkan oleh MPR.
Namun, pada perkembangan tahun 1998-1999 terjadi kevakuman dalam pelaksanaan pembangunan, akibat peristiwa krisis moneter yang menyerang Indonesia. Pelaksanaan pembangunan yang biasanya dituangkan dalam Repelita dengan mengacu kepada GBHN tidak dapat disusun. Sementara itu GBHN terakhir yang dihasilkan oleh MPR adalah GBHN tahun 1999-2004. GBHN merupakan acuan yang mendasar bagi tersusunnya rencana pembangunan untuk kurun waktu tertentu.
Tidak berlakunya GBHN dalam perencanaan pembangunan maka pemerintah melakukan amandemen terhadap UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah maka daerah telah diberikan hampir seluruh kewenangan dan pembiayaan atas pelayanan kepada masyarakat. Akibatnya, peran dan tanggung jawab pemerintah daerah di dalam perencanaan pembangunan akan semakin berat karena pemberian kewenangan yang amat luas bagi daerah dan keleluasaan pemerintah daerah untuk menggunakan dana yang menjadi haknya.
Lahirnya UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 juga merupakan tonggak penting dari pembaharuan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Adanya otonomi dan desentralisasi mengakibatkan rencana pembangunan menjadi beragam. Seperti misalnya perencanaan pembangunan di tingkat nasional meliputi : Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementrian (Renstra-KL) dan Rencana Pembangunan Kerja Kementrian (Renja-KL). Rencana pembangunan nasional ini, Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan nasional yang dibantu oleh Para Menteri sementara Pimpinan Kementrian/Lembaga menyelenggarakan perencanaan pembangunan sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan nasional juga dilakukan oleh masing-masing pimpinan Kementrian/Lembaga. Pimpinan Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan Kementerian/Lembaga periode sebelumnya. Selanjutnya, Menteri menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan Kementerian/Lembaga. Hasil evaluasi tersebut nantinya akan menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan nasional untuk periode berikutnya.
Sementara itu, perencanaan pembangunan daerah juga tidak jauh berbeda dengan perencanaan pembangunan nasional (meliputi RPJP Daerah, RPJM Daerah, RKPD, Rentra-SKPD, Renja-SKPD). Hanya saja yang menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan daerah adalah Kepala Daerah yang dibantu oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyelenggarakan perencanaan dan pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan daerah. Kepala SKPD melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan SKPD periode sebelumnya. Kepala Bappeda menyusun evaluasi rencana pembangunan daerah berdasarkan hasil evaluasi pimpinan SKPD.
Mekanisme Perencanaan Pembangunan Dearah dilakukan dengan prinsip koordinasi. Koordinasi perencanaan pembangunan perlu dilakukan karena dengan koordinasi dapat dilakukan sinergi dan efisiensi penggunaan dan pengalokasian sumber daya. Pada dasarnya pola dan mekanisme sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan antara pusat dan daerah dilakukan melalui Musrenbang, yaitu forum antar pelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.
Musrenbang sebagai media koordinasi antar pelaku dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan dilaksanakan dengan tujuan untuk:
- Mengoptimalkan dan mengefektifkan proses koordinasi perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional;
- Mengefektifkan pemanfaatan sumber daya nasional yang ada untuk mensinergikan upaya-upaya perubahan sosial yang diinginkan secara berkelanjutan;
- Mensinergikan pembangunan antar sektor dan antar daerah untuk mencapai tujuan dan sasaran nasional; dan
- Menjamin pelaksanaan pembangunan nasional yang lebih mantap dan berkesinambungan.
Adapun sinkronisasi antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah dilakukan dengan langkah-langkah atau tahapan dalam perencanaan pembangunan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dilakukan melalui beberapa tahapan dari penyusunan rencana sampai rancangan lengkap yang siap untuk ditetapkan, yaitu:
- Penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur
- Masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan;
- Melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan; dan
- Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan
Perubahan Dokumen Perencanaan Pembangunan
Bila melihat pada perkembangan perencanaan pembangunan yang telah dijelaskan sebelumnya maka hal serupa juga terjadi pada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki bangsa Indonesia yang mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Dokumen perencanaan merupakan acuan dalam menata sebuah bangsa yang perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periode yakni :
Dokumen Perencanaan periode 1958-1967
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dokumen Perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya.
Dokumen Perencanaan periode 1998-2000
Pada periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa.
Dokumen Perencanaan periode 2000-2004
Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Dokumen Perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Diujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat. Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.
Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.
Praktek Perencanaan Pembangunan dan Implikasi di Lapangan
Meskipun telah disahkannya UU nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan di Indonesia, bukan berarti implikasi terhadap apa yang telah direncanakan sesuai dengan dokumen perencanaan yang telah dibuat dan juga menjamin peran serta masyarakat dalam pembangunan. Efektivitas dari UU SPPN ini masih dipertanyakan karena masih sering ditemukan di beberapa daerah implikasi terhadap dokumen perencanaan sangat jauh dari tujuan yang ingin dicapai sebenarnya.
Sebagai contoh adalah Implementasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Pada Daerah Lerengan dan Ruang Terbuka Hijau di Semarang. Pada tahun 2008 Kota Semarang telah memiliki Perda tentang Tata Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mengatur luasan RTH suatu wilayah yang berada di Kota Semarang. Perda ini merupakan salah satu sikap yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam menyikapi UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mewajibkan luasan RTH minimal seluas 30%. Perda RTH Kota Semarang ini mengatur secara rinci RTH di Kota Semarang dengan ketentuan antara lain: setiap Rukun Tetangga (RT) wajib memiliki taman minimal seluas 250 m2 dengan 10 pohon pelindung; Luas taman di tingkat RW minimal 1.500 m2 dengan 20 pohon; Taman tingkat kelurahan minimal seluas 1 hektar; Rumah dengan luas kapling di bawah 120 m2 minimal menyediakan 1 pohon pelindung; Rumah dengan tanah 120-500 m2 harus menyediakan minimal 3 pohon, dan di atas 500 m2 minimal 5 pohon. Sedangkan pemilik bangunan bertingkat wajib membangun taman gantung di atap atau balkon. Selanjutnya bagi pengembang perumahan wajib menyediakan lahan RTH sebesar 20 % dari luas lahan yang dibangunnya. Dampak dari perda ini, setiap pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) wajib dilengkapi dokumen perencanaan RTH, dan dikenai sanksi administrasi atau pidana bagi yang melanggar.perijinan dan kesempatan melanggar perda RTH.
Namun, dalam prakteknya di lapangan, luasan RTH yang ada di Kota Semarang belum sesuai dengan apa yang diperdakan. Luasan RTH malah semakin berkurang jumlahnya yang mengakibatkan alih fungsi lahan banyak terjadi di Kota Semarang. Berkurangnya RTH tidak lain adalah karena permintaan lahan untuk dijadikan kawasan budidaya (kawasan permukiman dan kawasan perdagangan jasa) yang tinggi. Dari 16 kecamatan yang terdapat di Kota Semarang, terdapat delapan kecamatan yang belum memenuhi ketentuan RTH, antara lain Gajah Mungkur 7,48%, Candisari 6,26%, Pedurungan 24,18%, Gayamsari 19,21%, Semarang Timur 9,54%, Semarang Utara 9,47%, Semarang Tengah 11,9%, dan Semarang Barat 27,9%. (Kompas, 23 Juni 2009).
Kondisi seperti ini sangat disayangkan sekali, karena seharusnya apa yang telah dibuat oleh pemerintah dapat di implementasikan apalagi telah di Perda kan. Seharusnya Perda RTH Kota Semarang bukan lagi sekedar alat kelengkapan administrasi kota, yang hanya sekedar menunjuk kalau Kota Semarang sudah memiliki Perda tersebut. Akan tetapi, seharusnya pemerintah juga memikirkan implementasi dari ketetapan Perda tersebut bisa di realisasikan di lapangan, sehingga Perda bukan hanya hiasan kelengkapan dari produk hukum.
Jelaslah bahwa, meskipun perencanaan pembangunan di Indonesia telah memiliki pola perencanaan namun dalam pelaksanaannya pada tiap-tiap daerah belum bisa menyesuaikan dengan apa yang ada. Salah satu bukti konkrit adalah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pelaksanaan UU tersebut belum mampu dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Masih banyak daerah yang belum mampu memahami dan mengimplementasikan terhadap apa yang telah menjadi acuan perencanaan pembangunan. Apalagi bila melihat ego sektoral yang ada di masing-masing daerah yang kadang menjadi penghambat dari implementasi perencanaan yang telah dibuat. Sehingga nampaknya mekanisme perencanaan pembangunan yang menganut asas koordinasi menjadi tidak memiliki arti. Apalagi ditambah dengan monitoring dan evaluasi yang masih sangat rendah di setiap daerah terhadap pelaksanaan di lapangan seakan-akan membuat produk perencanaan hanyalah kelengkapan dari perencanaan pembangunan daerah.
Hal inilah yang perlu dievaluasi kembali lagi, terhadap praktek perencanaan yang ada. Apalagi dengan sistem pemerintahan yang bersifat otonomi daerah. Seharusnya dalam pembuatan “rencana” dimulai semenjak seseorang mencalonkan dirinya menjadi pemimpin daerah. Kemudian dijabarkannya setelah yang bersangkutan memenangi pemilu, serta dilaksanakannya, dan senantiasa dievaluasi serta dipertanggung jawabkan kepada rakyat pemilihnya, selaku pemegang kedaulatan tertinggi.
Sumber :
Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang Terus Berkurang, Selasa, 23 Juni 2009 dalam http://sains.kompas.com/read/2009/06/23/20115496/Ruang.Terbuka.Hijau.di.Kota.Semarang.Terus.Berkurang..#.
Bratakusumah, Deddy. Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Mulyani, Sri. 2009. Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan : Jakarta.
Wrihatnolo dan Mahatmi. Rekonseptualisasi Perencanaan Pembangunan: Suatu Pemikiran.
http://indonesian-treasury.blogspot.com
No comments:
Post a Comment