Pasca Timor Leste menjadi sebuah negara, terdapat 5 (lima) kabupaten di
Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste yaitu,
Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Malaka, Kabupaten
Kupang dan Kabupaten Alor. Khusus Kabupaten Alor dan Kabupaten Kupang merupakan
wilayah yang berbatas laut dengan wilayah Timor Leste.
Pada Kabupaten Belu terdapat 10 (sepuluh) wilayah kecamatan yang berbatasan dengan Timor Leste antara lain Kecamatan
Kakuluk Mesak, Kecamatan Kota Atambua, Kecamatan Atambua Barat, Kecamatan
Atambua Selatan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan Raihat, Kecamatan
Lamaknen, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kecamatan Tasifeto Barat dan Kecamatan
Nanaet Duabesi. Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belu, Motaain (Tasifeto
Timur), Turiskain (Lasiolat), dan Motamasin (Kobalima Timur) dikembangkan
sebagai Pusat Pelayanan Pintu Gerbang Negara.
Sementara, pada Kabupaten TTU terdapat 9 (sembilan) wilayah kecamatan yang
meliputi Kefamenanu, Nalbenu, Insana Utara, Miaomaffo Barat, Bikomi Utara,
Bikomi Tengah, Bikomi Nilulat, Mutis dan Musi. Pada Kabupaten TTU, Oepoli,
Haumeni Ana, Napan, dan Wini dikembangkan sebagai Pusat Pelayanan
Pintu Gerbang.
Pada bulan Januari 2013, berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2013
tentang Pembentukan Kabupaten Malaka di Provinsi Nusa Tenggara Timur, telah
resmi bahwa Kecamatan Kobalima Timur menjadi bagian dari daerah otonom baru
yaitu Kabupaten Malaka. Sebelumnya, Kecamatan Kobalima Timur merupakan bagian
dari Kabupaten Belu.
Dan, saya pun berkesempatan menjejakkan kaki sepanjang perbatasan di
Kabupaten Belu, mulai dari bagian utara tepatnya di Pintu Perbatasan Mota’ain
hingga ke selatan di Pintu Perbatasan Motamasin. Banyak informasi dan
pengalaman yang saya dapatkan selama melakukan perjalanan tersebut. Dan saya
pun akan memulai cerita di Kecamatan Tasifeto Timur yang memiliki pintu gerbang
resmi menuju Timor Leste.
Let’s enjoy..
Kecamatan Tasifeto Timur
memiliki posisi yang strategis karena berbatasan langsung dengan Negara
Republik Democratic Timor Leste terutama pada Distrik Bobonaro dan Distrik
Cova-Lima. Pada enam desa perbatasan di Tasifeto Timur hanya satu desa yang
memiliki Pintu Lintas Batas yaitu Pintu Lintas Batas Mota'ain di Desa
Silawan sedangkan desa perbatasan lainnya hanya memiliki pos penjagaan saja. Terdapat beberapa fasilitas
perkantoran di Pintu Lintas Batas Mota’ain seperti kantor imigrasi,
kantor bea cukai, pos satgas pamtas, karantina kesehatan, karantina
tumbuhan, pasar, pos terpadu, gudang, bank mandiri, kepolisian dan pos terpadu.
Aktivitas lintas batas di PLB Mota’ain dimulai pada pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WITA. Lintasan perbatasan Mota’ain adalah yang paling ramai bila dibandingkan dengan PLB Turiskain dan PLB Motamasin. Hampir setiap hari terdapat ±100–130 pelintas batas dengan kepentingan yang berbeda-beda, akan tetapi pelintas batas bisa lebih banyak jika ada perayaan seperti hari lebaran atau natal. Untuk masyarakat Indonesia biasanya hanya melintas untuk urusan keluarga seperti menghadiri pesta, acara kelahiran, acara kematian atau acara-acara adat lainnya. Sedikit sekali masyarakat dari Indonesia yang melintas untuk urusan bekerja, berdagang ataupun bersekolah. Akan tetapi, sedikit berbeda dengan masyarakat Timor Leste yang kebanyakan melintas untuk kegiatan berbelanja, bekerja, bersekolah maupun untuk urusan keluarga.
Proses keluar
masuk perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste dapat dikatakan sangat
sederhana. Hanya dengan pasport dan sedikit wawancara, masyarakat bisa bebas
melenggang menuju wilayah Indonesia atau sebaliknya menuju Timor Leste. Khusus
untuk masyarakat Desa Silawan dapat melintas Pintu Lintas Batas Motaain dengan
menggunakan Pas Lintas Batas. Pas Lintas Batas merupakan dokumen lintas batas
bagi penduduk lokal di
kecamatan perbatasan dari kedua negara untuk dapat melintasi perbatasan hingga
sejauh 10 kilometer dari pintu lintas batas. Untuk masyarakat Desa Silawan sekitar
50 persen warganya sudah mempunyai pas lintas batas yang
sering mereka
gunakan untuk mengunjungi keluarga mereka di Timor Leste.
Gapura Batas Indonesia (PLB Mota'ain) |
Pada
kantor imigrasi yang berukuran 3 x 5 meter, masyarakat biasanya mengurus perizinan dan membayarkan
visa. Warga Timor Leste yang akan masuk ke wilayah Indonesia dikenai biaya
pengurusan pasport dan visa sekitar US$ 26 sampai US$ 30.
Sementara, Indonesia belum memberlakukan itu, setiap warga Indonesia yang akan
melintas ke Timor Leste dikenai biaya Rp 250.000. Pada PLB Motaain belum
diberlakukan Visa on Arrival (VoA)
sementara RDTL telah memberlakukannya. Kesulitan yang dihadapi adalah belum ada
bank yang siap untuk melakukan pembayaran dan belum adanya peralatan. Mengingat
pada wilayah Mota’ain dihadapkan pada ‘blank spot” semua jaringan.
Selain itu, pada PLB Mota’ain juga belum memiliki peralatan yang memadai,
pengecekan dan pendataan setiap pendatang dari Timor Leste dilakukan secara
manual, belum ada Border Control
Manajemen (BCM) yang terpasang secara online seperti di Bandar Udara dan
Pelabuhan lainnya. Dengan tidak adanya BCM, petugas tidak bisa melakukan cegah
dan tangkal (cekal) terhadap sejumlah orang yang diduga melakukan kejahatan
tertentu karena tidak ada data. Apalagi data secara online soal adanya
permintaan cekal terhadap orang yang keluar masuk juga tidak bisa langsung
dilihat.
Kantor Bea Cukai |
Kantor Imigrasi |
Sementara itu, pada PLB
Mota’ain tidak
terdapat pemeriksaan X-ray, penimbang barang yang dibawa, metal detector, kecamatan pengintai malam (night vision) dan tidak ada pemindai suhu badan (thermal scanner). Semua pemeriksaan
dilakukan secara manual tanpa teknologi modern dengan bantuan petugas TNI dan
Polisi. Pintu pelintas batas atau border RI-RDTL
hanya dipisahkan sebuah jembatan yang di bawahnya merupakan sungai kering. Di
tengah jembatan ini diberikan garis bertanda kuning, sebagai tanda batas
negara. Jarak antara pos pelintas batas yang dikelola Indonesia dan Timor Leste
ini berjarak sekitar 200 meter. Untungnya secara
umum kondisi
PLB Mota’ain aman. Hanya saja diperoleh informasi dari petugas
keamanan, baik TNI dan Polri yang berjaga disana, banyak pelintas batas yang
memanfaatkan jalur-jalur tikus yang bisa dilalui karena belum adanya pos
pengamanan atau memang jauhnya untuk mencapai PLB Mota’ain.
Fasilitas Pemeriksaan di Kantor Imigrasi Timor Leste |
Untuk aktifitas lainnya di sekitar PLB Mota’ain tidaklah terlalu ramai, seperti aktifitas di terminal maupun pasar. Meskipun telah ada terminal dan pasar, namun
keberadaanya kurang difungsikan dengan baik oleh masyarakat. Bahkan untuk
terminal tidak ada mobil angkutan maupun bis yang berhenti disana. Kendaraan penumpang cenderung menurunkan dan
menaikkan penumpang di jalan tidak masuk ke dalam terminal. Sementara untuk pasar telah memiliki bangunan permanen dan pernah
digunakan sebagai tempat jual beli barang. Namun, hingga sekarang pasar tersebut belum difungsikan kembali sejak adanya insiden pada
tahun 2002. Hal ini membuat aktivitas jual beli di pasar tersebut berhenti.
Lokasi pasar umum tersebut kurang strategis karena berada paling belakang
kantor militer, pos imigrasi, bea cukai, dan kantor lainnya. Mengingat PLB Mota’ain yang sangat strategis dan
memiliki fasilitas yang cukup lengkap, akan sangat disayangkan apabila kedua
fasilitas tersebut tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Perlu dilakukan
tinjauan ulang terhadap keberadaan fasilitas tersebut, apabila memang kedua
fasilitas tersebut tidak dapat menciptakan interaksi perbatasan antar kedua
negara, maka lahan untuk maka fasilitas terminal maupun pasar bisa di alih
fungsikan untuk dibangun fasilitas yang benar-benar dibutuhkan masyarakat
perbatasan. Hal ini mengingat harga lahan yang sudah sangat tinggi di PLB
Mota’ain.
Terminal & Pasar di PLB Mota'ain |
Kondisi Perekonomian
Sementara itu, untuk kegiatan
perekonomian di perbatasan, hampir sebagian besar masyarakat Timor Leste
berbelanja di Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan pokok mereka. Sedikit sekali masyarakat perbatasan Tasifeto
Timur yang berbelanja ke Timor Leste. Biasanya masyarakat Timor Leste
berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti beras, daging maupun minyak sedangkan
masyarakat Indonesia biasanya berbelanja minuman ke Timor Leste. Hal ini karena
di Timor Leste banyak menjual minum yang di impor dari Australia maupun Korea.
Ketergantungan masyarakat Timor Leste terhadap kebutuhan pokok Indonesia dapat
ditemui hampir setiap hari sepanjang pekan terakhir, puluhan truk pengangkut bahan pokok serta barang kelontong
melintas perbatasan Atapupu-Mota’ain menuju Batugade di Timor Leste.
Ketergantungan masyarakat Timor Leste terhadap barang-barang pokok
sebenarnya menguntungkan perekonomian warga NTT khususnya di Atambua. Hal ini
karena alat tukar yang digunakan masing-masing negara berbeda sehingga
menyebabkan selisih harga yang cukup besar. Misalnya saja, satu ekor babi yang
dijual di pasar lokal biasanya dihargai Rp 500.000, kalau
dibeli masyarakat Timor Leste sekurang-kurangnya di bayar Rp 700.000. Kemudian,
untuk satu karung beras isi 25 Kg yang dijual di Timor Leste harganya lebih
tinggi Rp 25.000 dibandingkan dijual di wilayah Atambua. Untuk barang-barang
impor seperti rokok impor dan Anggur Porto dari Australia maupun negara lainnya
bisa didapati dengan mudah di wilayah perbatasan Timor Leste. Hal ini karena
barang-barang tersebut terkenal di jual bebas. Rokok impor
dijual hingga Rp 50.000 per bungkus dan anggur Porto isi 5 liter dijual Rp 500.000. Harga anggur impor
di perbatasan lebih murah dibandingkan
harga eceran di Jakarta.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia lebih suka berdagang dengan orang Timor
Leste karena keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar. Keuntungan dan ketergantungan
terhadap barang-barang pokok dari Indonesia, yang kemudian pemerintah Indonesia
segera meresmikan perdagangan RI-RDTL.
Jenis Minuman Berakohol yang dijual bebas di warung Timor Leste |
Minuman Impor dari Australia |
Kondisi Keamanan
Sarana pertahanan dan keamanan yang terdapat di Tasifeto
Timur berupa pos-pos penjagaan Satgas Pamtas. Pos penjagaan ini terdapat pada
desa perbatasan yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Saat ini terdapat
5 pos penjagaan yang diantaranya terdapat di Desa Silawan (Pos Mota’ain 1),
Desa Dafala (Pos Dafala), Desa Takirin (Pos Fatubesi), Desa Sarabau (Pos
Asulait) dan Desa Tulakadi (Pos Salore). Selain itu, pada pos perbatasaan juga
dilengkapi dengan pos militer yang selalu melakukan penjagaan setiap harinya. Pos penjagaan militer dilengkapi dengan barak militer, dapur, beserta
kelengkapan tinggal lainnya. Kondisi barak militer tempat tinggal para tentara
penjaga sudah ada yang bangunan permanen seperti di Desa Silawan (Motaain) dan
Desa Dafala, sedangkan pada desa yang lain masih semi permanen. Selain pos
penjagaan Satgas Pamtas, keamanan dan pertahanan antara RI dengan Timor Leste
khususnya di Kabupaten Belu sudah dilengkapi dengan pilar-pilar pembatas.
Pilar-pilar tersebut selalu dipantau dan dipelihara agar tidak ada pergeseran
garis batas yang telah ditentukan.
Kondisi sarana pertahanan dan keamanan
tersebut secara umum sudah memadai. Namun, ada beberapa kebutuhan yang perlu dilakukan untuk peningkatan
kualitas sarana tersebut seperti: penyediaan listrik untuk pos-pos penjagaan
tersebut, penyediaan lampu lokal/halaman, peningkatan kualitas barak yang
kondisi sekarang sudah rusak dan sederhana/semi permanen, dan peningkatan akses
jalan khususnya untuk pos yang berada di bagian Selatan Lokpri Tasifeto Timur.
Sementara, untuk kondisi keamanan di Tasifeto
Timur dapat dikatakan relatif aman dan sudah tidak ada konflik antar
masyarakat, sehingga sudah tidak saatnya lagi bagi TNI & Polri untuk
menjaga di garda depan perbatasan. Hal ini juga untuk menghilangkan rasa
ketakutan bagi sebagian masyarakat untuk berinteraksi di kawasan perbatasan
tersebut.
Adapun
masalah yang paling krusial terkait keamanan di perbatasaan Tasifeto Timur
adalah penyeludupan BBM yang hingga saat ini belum terselesaikan sehingga
membutuhkan perhatian semua pihak terutama aparat keamanan. Selama ini
kendaraan dengan berbagai jenis dari Timor Leste lebih banyak memanfaatkan BBM
khususnya premium dan solar bersubsidi. Hal ini tentunya sangat merugikan
masyarakat di Indonesia. Banyak kendala yang dihadapi oleh petugas apabila
penyelundupan melalui jalan-jalan tikus pada desa perbatasan. Salah satu
kendala adalah minimnya fasilitas dan juga kondisi fisik alam yang berupa
bukit. Maraknya penyelundupan BBM ke Timor Leste dipacu oleh tinggi harga dan
permintaan di negara Timor Leste yang mendorong banyak orang tergiur melakukan
praktek illegal.
Pemerintah sebaiknya harus
membangun SPBU khusus terutama di perbatasan Motaain untuk
melayani kendaraan dari Timor Leste yang sering berkunjung. SPBU Khusus
berfungsi untuk melayani kendaraan yang datang maupun kembali ke Timor Leste
dengan harga khusus sehingga masyarakat Timor Leste tidak lagi dengan seenaknya
menggunakan BBM bersubsidi di Indonesia, khususnya Kabupaten Atambua.
Selain penyelundupan BBM, yang
juga menjadi masalah keamanan di kawasan perbatasan adalah masuknya narkoba ke
Indonesia dari Timor Leste. Kemungkinan masuknya narkoba ini
diperparah dengan belum adanya fasilitas X-ray di pintu perbatasan untuk
mendeteksi setiap barang yang masuk. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari
Kantor Bea Cukai di Motaain, pernah ditemukan narkoba seberat 6 kg pada tahun
2010 yang diseludupkan oleh 5 orang warga Timor Leste.
Well, to be continue in next part of Timor Leste Border Guys :*
No comments:
Post a Comment