Kali
ini, saya ingin menumpahkan uneg-uneg tentang perkembangan ojek di Ibukota.
Sangat menginspirasi untuk saya kritisi karena beberapa pertimbangan terutama
semakin maraknya per-ojek-an di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang un-disiplined!
Iya, salah satunya pada tarif harga yang mereka berlakukan. Terus terang aja
mereka ini sudah semakin jual mahal banget apalagi kalau wilayah operasinya di
daerah langganan macet. Wuuiiih harganya bisa sama kayak naik taksi dengan
argometernya yang cepat banget berubah!
Maraknya
ojek sekarang ini seperti maraknya Pedagang Kaki Lima (PKL) di Ibukota. Dulu, PKL
dianggap sebagai masalah yang mengganggu ruang kota namun sekarang ini menjadi
sektor semi-formal yang dilegalkan dengan cara pengaturan, penataan dan pengenaan
retribusi yang disetorkan ke kas daerah. Memang tidak bisa dipungkiri juga, kalau
sektor ini mampu memberikan lapangan usaha ditengah-tengah kondisi perekonomian
bangsa yang semakin sulit, dimana lapangan kerja semakin terbatas. Lalu, kenapa
saya katakan keberadaan Ojek sama dengan keberadaan PKL? Karena sesungguhnya
bisnis perojekan adalah bisnis yang tumbuh secara swadaya karena bertemunya
faktor permintaan dan penawaran secara bebas.
Jika
kita telusuri sejarah ojek, menurut cerita orang-orang siy berasal dari kata
“objek” yang kemudian dijadikan kata kerja dengan logat jawa menjadi “ngobjek”.
Namun bila mengutip dari salah satu website, Ojek merupakan sepeda yang
ditaksikan (W.J.S Poerwadarminta). Nah,
untuk di Jakarta sendiri, ojek pertama kalinya muncul (tahun 1970) berupa ojek
sepeda yang adanya di Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini dilatarbelakangi karena
adanya larangan terhadap bemo dan becak masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok
sehingga menyebabkan orang-orang yang mempunyai sepeda mendapat kesempatan
untuk menawarkan jasa-jasanya. Nah dari sini bisa terlihat bahwa ojek ada
karena adanya suatu daerah yang tidak dapat dijangkau dengan angkutan umum atau
tidak dapat diakses dengan kendaraan roda empat sehingga diperlukan “feeder” atau pengumpan untuk sampai
dilokasi.
Lalu,
bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah ojek dibutuhkan karena adanya
ketidakjangkauan suatu daerah dengan transportasi umum? Hmm, kalau menurut saya
pribadi siy IYA, karena adanya
daerah yang tidak dapat dijangkau dengan angkutan umum. Ditambah lagi, adanya kecendrungan
orang Indonesia yang enggan “Berjalan Kaki” karena belum menjadi budaya hidup sehingga
kita cenderung memilih ojek karena lebih cepat dan praktis. Apalagi di Jakarta
yang semakin sumpek, panas, dan penuh polusi. Maka ojek adalah pilihan yang
banyak dipilih masyarakat walaupun membutuhkan biaya yang lebih mahal.
Saat ini bisnis ojek motor di
Jakarta semakin hidup dan menjamur bahkan menjadi pilihan untuk menembus
kemacetan. Apalagi di fasilitasi dengan teknologi dengan munculnya “ojek online”
yang dapat di booking lewat smartphone, seakan-akan membuat keberadaan ojek memang
layak “diakui”. Padahal jika melihat dari regulasi yang ada, sesungguhnya ojek menjadi
sebuah kontroversi sekaligus problematika system transportasi darat. Berikut
beberapa cuplikan yang saya ambil dari beberapa website.
Lalu pendapat saya pribadi yang
pernah belajar tentang masalah perkotaan, akar permasalahan ojek bukanlah pada
tidak adanya regulasi, melainkan karena keterlambatan pihak yang berwenang
dalam mengatur sistem transportasi massal. Jelas sudah terlihat latar belakang
adanya ojek karena “ketidakjangkauan suatu daerah dengan transportasi umum”
yang dibiarkan terlalu lama hingga kemudian berkembangnya kepemilikan kendaraan
pribadi (dalam ini motor) secara massif sehingga menjadi celah untuk melayani “ketidakjangkauan
daerah dengan transportasi umum” tersebut dengan menyewakan jasa motor mereka.
(So? Gak usah mencari siapa yang
salah disini, karena kita paling jago kalau mencari yang salah).
Saya sendiri siy belum tau
bagaimana baiknya tentang ojek ini. Karena saya sendiri pun termasuk pengguna
ojek. Banyak cerita yang saya dapat dari tukang ojek yang saya tumpangi,
terutama alasan mereka memilih menjadi tukang ojek. Tapi sepaham saya,
perkembangan ojek ini memang harus ditahan jangan semakin banyak orang beralih
profesi menjadi tukang ojek karena akan semakin sulit dikendalikan jika ojek
dijadikan transportasi umum/massal.
Pandangan saya siy, untuk
mengatasi masalah transportasi “ketidakjangkauan daerah dengan transportasi
umum” adalah dengan memperbaiki “Struktur Ruang Kota” dan “Perbaikan dan
peremajaan kendaaraannya serta peningkatan pelayanan transportasi umum”. Nah,
untuk peningkatan pelayanan transportasi umum sepertinya sudah dilakukan oleh
pemerintah, tetapi untuk peremajaan kendaraannya masih sangat belum. Masih
banyak banget kendaraan umum di Jakarta yang jauh dari kata layak, aman dan
nyaman. Kemudian, terhadap struktur ruang kota sepertinya memang perlu “evaluasi
struktur ruang kota”. Bagi saya ini penting, karena inilah kunci pembentuk
ruang kota yang teintegrasi. Selama ini yang terjadi, pembangunan kota kurang
melihat dari struktur ruang kotanya padahal Struktur ruang kota sudah ada dalam
dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), tetapi memang ini masih sangat kurang
aplikatif terhadap perubahan tata guna lahan.
Sekian dulu cerita saya di
siang yang sangat panas ini yaa.
No comments:
Post a Comment