Tuesday, October 20, 2015

Lembah Baliem

Jika ditanya oleh teman saya, tempat di Indonesia yang paling ingin saya kunjungi, maka jawaban saya adalah “Lembah Baliem”. Entah apa alasannya yang jelas saya memang telah “mengagumi Papua”. Meskipun telah mengunjungi Papua beberapa kali, tetapi rasanya belum afdol kalau belum sampai ke daerah Pegunungan Tengah (re: Wamena dan sakitarnya).  Mungkin yang menginspirasi saya untuk berkunjung kesana karena beberapa buku tentang Papua yang saya miliki. Saya sendiri pun hanya bisa bercerita tentang Lembah Baliem ini dari beberapa literatur yang saya miliki. Barikut ceritanya:

Lembah Baliem ditemukan secara tidak sengaja ketika Richard Archbold Ketua Tim Ekspedisi yang disponsori oleh American Museum of Natural History melihat lembah hijau luas dari kaca jendela pesawat pada tanggal 23 Juni 1938. Penglihatan tidak sengaja ini adalah awal dari terbukanya isolasi Lembah Baliem dari dunia luar. Tim Ekspedisi yang sama di bawah pim­pinan Kapten Teerink dan Letnan Van Areken mendarat di Danau Habema. Dari sana mereka berjalan menuju arah Lembah Baliem melalui Lembah Ebele dan mereka mendirikan basecamp di Lembah Baliem.

Pada tanggal 20 April 1954, seorang misionaris Amerika, Dr. Bromley yang pernah hidup dan tinggal di Tangma, Kurima, datang ke Lembah Baliem dengan tugas utama memperkenalkan agama Kristen pada suku Dani di Baliem, Stasiun misionaris pertama didirikan di Hitigima. Selama tujuh bulan mereka mendirikan landasan pesawat udara pertama. Beberapa waktu kemudian misionaris menemukan sebuah area yang ideal untuk dijadikan landasan pen-daratan pesawat udara. Pada tahun 1958, di daerah sekitar landasan, tepatnya berbatasan dengan daerah Suku Mukoko, pemerintah Belanda mendirikan pos pemerintahannya. Kemudian baru pada tahun 1961, eksplorasi ilmiah yang lengkap dilakukan oleh sebuah tim dari Amerika. Salah seorang anggotanya adalah antropolog Karl G. Heider, yang kemudian menjadi terkenal oleh bukunya yang berjudul The Dugum Dani yang mengungkapkan banyak hal mengenai adat istiadat suku Dani yang selama itu masih tersembunyi. Dari ekspedisi Heider pula tercipta buku bergambar Gardens of War dan bersama Robert Gardner, mereka membuat film berjudul Dead Birds.

Nah dari artikel itulah kemudian saya membayangkan dan bercit-cita ingin ke Lembah Baliem. Secara administrasi, Lembah Baliem berada di Wamena yang merupakan salah satu daerah yang berada di hamparan Lembah Baliem, suatu lembah aluvial yang terbentang pada areal di ketinggian 1500 - 2000 m di atas permukaan laut. Lembah Baliem dikelilingi oleh Pegunungan yang terkenal karena puncak-­puncak salju abadi antara lain: Puncak Trikora, Puncak Yamin dan Puncak Mandala. Pegu­nungan ini amat menarik wisatawan dan peneliti ilmu pengetahuan alam karena puncaknya ini yang selalu ditutupi salju walaupun berada di kawasan tropis. Lereng pegunungan yang terjal dan lembah sungai yang sempit dan curam menjadi ciri khas pegunungan ini.

Saat ini, Wamena merupakan ibukota kabupaten yang termahal di Indonesia. Kota ini berada di tengah-tengah daerah Papua yang belum mempunyai jalan darat untuk hubungan keluar daerah dan tidak mem­punyai perbatasan dengan laut. Transportasi ke dan dari Wamena praktis hanya tergantung dari angkutan udara yang memerlukan biaya yang mahal. Walaupun demikian Kota Wa­mena dan sekitarnya ramai karena adanya arus migrasi lokal dari daerah pinggiran kota dan pendatang dari luar daerah. Sejak tahun 1971, sejak diperkenalkan ekonomi pasar, penduduk pinggiran kota dan pendatang dari Makasar, Bugis, Toraja dan Jawa datang meramaikan pasar.

Lalu, apa yang membuat saya tertarik untuk mengunjungi tempat ini, berikut jawabannya:
  1. Suku Dani
  2. Upacara dan Ritus Sepanjang Daur Hidup
  3. Potong Jari sebagai tanda duka
  4. Sistem Perang
Ahh semoga cita-cita saya untuk mengunjungi Lembah Baliem ini kesampean yaaa, 
Insya Allah (^-^)

Sunday, October 4, 2015

Ojek Oh Ojek


Kali ini, saya ingin menumpahkan uneg-uneg tentang perkembangan ojek di Ibukota. Sangat menginspirasi untuk saya kritisi karena beberapa pertimbangan terutama semakin maraknya per-ojek-an di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang un-disiplined! Iya, salah satunya pada tarif harga yang mereka berlakukan. Terus terang aja mereka ini sudah semakin jual mahal banget apalagi kalau wilayah operasinya di daerah langganan macet. Wuuiiih harganya bisa sama kayak naik taksi dengan argometernya yang cepat banget berubah!

Maraknya ojek sekarang ini seperti maraknya Pedagang Kaki Lima (PKL) di Ibukota. Dulu, PKL dianggap sebagai masalah yang mengganggu ruang kota namun sekarang ini menjadi sektor semi-formal yang dilegalkan dengan cara pengaturan, penataan dan pengenaan retribusi yang disetorkan ke kas daerah. Memang tidak bisa dipungkiri juga, kalau sektor ini mampu memberikan lapangan usaha ditengah-tengah kondisi perekonomian bangsa yang semakin sulit, dimana lapangan kerja semakin terbatas. Lalu, kenapa saya katakan keberadaan Ojek sama dengan keberadaan PKL? Karena sesungguhnya bisnis perojekan adalah bisnis yang tumbuh secara swadaya karena bertemunya faktor permintaan dan penawaran secara bebas.

Jika kita telusuri sejarah ojek, menurut cerita orang-orang siy berasal dari kata “objek” yang kemudian dijadikan kata kerja dengan logat jawa menjadi “ngobjek”. Namun bila mengutip dari salah satu website, Ojek merupakan sepeda yang ditaksikan (W.J.S Poerwadarminta). Nah, untuk di Jakarta sendiri, ojek pertama kalinya muncul (tahun 1970) berupa ojek sepeda yang adanya di Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini dilatarbelakangi karena adanya larangan terhadap bemo dan becak masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok sehingga menyebabkan orang-orang yang mempunyai sepeda mendapat kesempatan untuk menawarkan jasa-jasanya. Nah dari sini bisa terlihat bahwa ojek ada karena adanya suatu daerah yang tidak dapat dijangkau dengan angkutan umum atau tidak dapat diakses dengan kendaraan roda empat sehingga diperlukan “feeder” atau pengumpan untuk sampai dilokasi.

Lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah ojek dibutuhkan karena adanya ketidakjangkauan suatu daerah dengan transportasi umum? Hmm, kalau menurut saya pribadi siy IYA, karena adanya daerah yang tidak dapat dijangkau dengan angkutan umum. Ditambah lagi, adanya kecendrungan orang Indonesia yang enggan “Berjalan Kaki” karena belum menjadi budaya hidup sehingga kita cenderung memilih ojek karena lebih cepat dan praktis. Apalagi di Jakarta yang semakin sumpek, panas, dan penuh polusi. Maka ojek adalah pilihan yang banyak dipilih masyarakat walaupun membutuhkan biaya yang lebih mahal.

Saat ini bisnis ojek motor di Jakarta semakin hidup dan menjamur bahkan menjadi pilihan untuk menembus kemacetan. Apalagi di fasilitasi dengan teknologi dengan munculnya “ojek online” yang dapat di booking lewat smartphone, seakan-akan membuat keberadaan ojek memang layak “diakui”. Padahal jika melihat dari regulasi yang ada, sesungguhnya ojek menjadi sebuah kontroversi sekaligus problematika system transportasi darat. Berikut beberapa cuplikan yang saya ambil dari beberapa website.




Lalu pendapat saya pribadi yang pernah belajar tentang masalah perkotaan, akar permasalahan ojek bukanlah pada tidak adanya regulasi, melainkan karena keterlambatan pihak yang berwenang dalam mengatur sistem transportasi massal. Jelas sudah terlihat latar belakang adanya ojek karena “ketidakjangkauan suatu daerah dengan transportasi umum” yang dibiarkan terlalu lama hingga kemudian berkembangnya kepemilikan kendaraan pribadi (dalam ini motor) secara massif sehingga menjadi celah untuk melayani “ketidakjangkauan daerah dengan transportasi umum” tersebut dengan menyewakan jasa motor mereka.

(So? Gak usah mencari siapa yang salah disini, karena kita paling jago kalau mencari yang salah).

Saya sendiri siy belum tau bagaimana baiknya tentang ojek ini. Karena saya sendiri pun termasuk pengguna ojek. Banyak cerita yang saya dapat dari tukang ojek yang saya tumpangi, terutama alasan mereka memilih menjadi tukang ojek. Tapi sepaham saya, perkembangan ojek ini memang harus ditahan jangan semakin banyak orang beralih profesi menjadi tukang ojek karena akan semakin sulit dikendalikan jika ojek dijadikan transportasi umum/massal.

Pandangan saya siy, untuk mengatasi masalah transportasi “ketidakjangkauan daerah dengan transportasi umum” adalah dengan memperbaiki “Struktur Ruang Kota” dan “Perbaikan dan peremajaan kendaaraannya serta peningkatan pelayanan transportasi umum”. Nah, untuk peningkatan pelayanan transportasi umum sepertinya sudah dilakukan oleh pemerintah, tetapi untuk peremajaan kendaraannya masih sangat belum. Masih banyak banget kendaraan umum di Jakarta yang jauh dari kata layak, aman dan nyaman. Kemudian, terhadap struktur ruang kota sepertinya memang perlu “evaluasi struktur ruang kota”. Bagi saya ini penting, karena inilah kunci pembentuk ruang kota yang teintegrasi. Selama ini yang terjadi, pembangunan kota kurang melihat dari struktur ruang kotanya padahal Struktur ruang kota sudah ada dalam dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), tetapi memang ini masih sangat kurang aplikatif terhadap perubahan tata guna lahan.

Sekian dulu cerita saya di siang yang sangat panas ini yaa.