Wednesday, March 19, 2014

Jelajah Perbatasan Indonesia – Timor Leste #part1

Pasca Timor Leste menjadi sebuah negara, terdapat 5 (lima) kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste yaitu, Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Malaka, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Alor. Khusus Kabupaten Alor dan Kabupaten Kupang merupakan wilayah yang berbatas laut dengan wilayah Timor Leste.

Pada Kabupaten Belu terdapat 10 (sepuluh) wilayah kecamatan yang berbatasan dengan Timor Leste antara lain Kecamatan Kakuluk Mesak, Kecamatan Kota Atambua, Kecamatan Atambua Barat, Kecamatan Atambua Selatan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan Raihat, Kecamatan Lamaknen, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kecamatan Tasifeto Barat dan Kecamatan Nanaet DuabesiMenurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belu, Motaain (Tasifeto Timur), Turiskain (Lasiolat), dan Motamasin (Kobalima Timur) dikembangkan sebagai Pusat Pelayanan Pintu Gerbang Negara. 

Sementara, pada Kabupaten TTU terdapat 9 (sembilan) wilayah kecamatan yang meliputi Kefamenanu, Nalbenu, Insana Utara, Miaomaffo Barat, Bikomi Utara, Bikomi Tengah, Bikomi Nilulat, Mutis dan Musi. Pada Kabupaten TTU, Oepoli, Haumeni Ana, Napan, dan Wini dikembangkan sebagai Pusat Pelayanan Pintu Gerbang.

Pada bulan Januari 2013, berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Malaka di Provinsi Nusa Tenggara Timur, telah resmi bahwa Kecamatan Kobalima Timur menjadi bagian dari daerah otonom baru yaitu Kabupaten Malaka. Sebelumnya, Kecamatan Kobalima Timur merupakan bagian dari Kabupaten Belu.

Dan, saya pun berkesempatan menjejakkan kaki sepanjang perbatasan di Kabupaten Belu, mulai dari bagian utara tepatnya di Pintu Perbatasan Mota’ain hingga ke selatan di Pintu Perbatasan Motamasin. Banyak informasi dan pengalaman yang saya dapatkan selama melakukan perjalanan tersebut. Dan saya pun akan memulai cerita di Kecamatan Tasifeto Timur yang memiliki pintu gerbang resmi menuju Timor Leste.

Let’s enjoy..

Kecamatan Tasifeto Timur memiliki posisi yang strategis karena berbatasan langsung dengan Negara Republik Democratic Timor Leste terutama pada Distrik Bobonaro dan Distrik Cova-Lima. Pada enam desa perbatasan di Tasifeto Timur hanya satu desa yang memiliki Pintu Lintas Batas yaitu Pintu Lintas Batas Mota'ain di Desa Silawan sedangkan desa perbatasan lainnya hanya memiliki pos penjagaan saja. Terdapat beberapa fasilitas perkantoran di Pintu Lintas Batas Motaain seperti kantor imigrasi, kantor bea cukai, pos satgas pamtas, karantina kesehatan, karantina tumbuhan, pasar, pos terpadu, gudang, bank mandiri, kepolisian dan pos terpadu.
 
Layout PLB Mota'ain
Aktivitas lintas batas di PLB Mota’ain dimulai pada pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WITA. Lintasan perbatasan Mota’ain adalah yang paling ramai bila dibandingkan dengan PLB Turiskain dan PLB Motamasin. Hampir setiap hari terdapat ±100–130 pelintas batas dengan kepentingan yang berbeda-beda, akan tetapi pelintas batas bisa lebih banyak jika ada perayaan seperti hari lebaran atau natal. Untuk masyarakat Indonesia biasanya hanya melintas untuk urusan keluarga seperti menghadiri pesta, acara kelahiran, acara kematian atau acara-acara adat lainnya. Sedikit sekali masyarakat dari Indonesia yang melintas untuk urusan bekerja, berdagang ataupun bersekolah. Akan tetapi, sedikit berbeda dengan masyarakat Timor Leste yang kebanyakan melintas untuk kegiatan berbelanja, bekerja, bersekolah maupun untuk urusan keluarga.

Proses keluar masuk perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste dapat dikatakan sangat sederhana. Hanya dengan pasport dan sedikit wawancara, masyarakat bisa bebas melenggang menuju wilayah Indonesia atau sebaliknya menuju Timor Leste. Khusus untuk masyarakat Desa Silawan dapat melintas Pintu Lintas Batas Motaain dengan menggunakan Pas Lintas Batas. Pas Lintas Batas merupakan dokumen lintas batas bagi penduduk lokal di kecamatan perbatasan dari kedua negara untuk dapat melintasi perbatasan hingga sejauh 10 kilometer dari pintu lintas batas. Untuk masyarakat Desa Silawan sekitar 50 persen warganya sudah mempunyai pas lintas batas yang sering mereka gunakan untuk mengunjungi keluarga mereka di Timor Leste.

Gapura Batas Indonesia (PLB Mota'ain)
Pada kantor imigrasi yang berukuran 3 x 5 meter, masyarakat biasanya mengurus perizinan dan membayarkan visa. Warga Timor Leste yang akan masuk ke wilayah Indonesia dikenai biaya pengurusan pasport dan visa sekitar US$ 26 sampai US$ 30. Sementara, Indonesia belum memberlakukan itu, setiap warga Indonesia yang akan melintas ke Timor Leste dikenai biaya Rp 250.000. Pada PLB Motaain belum diberlakukan Visa on Arrival (VoA) sementara RDTL telah memberlakukannya. Kesulitan yang dihadapi adalah belum ada bank yang siap untuk melakukan pembayaran dan belum adanya peralatan. Mengingat pada wilayah Motaain dihadapkan pada ‘blank spot” semua jaringan. Selain itu, pada PLB Motaain juga belum memiliki peralatan yang memadai, pengecekan dan pendataan setiap pendatang dari Timor Leste dilakukan secara manual, belum ada Border Control Manajemen (BCM) yang terpasang secara online seperti di Bandar Udara dan Pelabuhan lainnya. Dengan tidak adanya BCM, petugas tidak bisa melakukan cegah dan tangkal (cekal) terhadap sejumlah orang yang diduga melakukan kejahatan tertentu karena tidak ada data. Apalagi data secara online soal adanya permintaan cekal terhadap orang yang keluar masuk juga tidak bisa langsung dilihat.

Kantor Bea Cukai
Kantor Imigrasi
Sementara itu, pada PLB Motaain tidak terdapat pemeriksaan X-ray, penimbang barang yang dibawa, metal detector, kecamatan pengintai malam (night vision) dan tidak ada pemindai suhu badan (thermal scanner). Semua pemeriksaan dilakukan secara manual tanpa teknologi modern dengan bantuan petugas TNI dan Polisi. Pintu pelintas batas atau border RI-RDTL hanya dipisahkan sebuah jembatan yang di bawahnya merupakan sungai kering. Di tengah jembatan ini diberikan garis bertanda kuning, sebagai tanda batas negara. Jarak antara pos pelintas batas yang dikelola Indonesia dan Timor Leste ini berjarak sekitar 200 meter. Untungnya secara umum kondisi PLB Motaain aman. Hanya saja diperoleh informasi dari petugas keamanan, baik TNI dan Polri yang berjaga disana, banyak pelintas batas yang memanfaatkan jalur-jalur tikus yang bisa dilalui karena belum adanya pos pengamanan atau memang jauhnya untuk mencapai PLB Motaain.

Fasilitas Pemeriksaan di Kantor Imigrasi Timor Leste
Untuk aktifitas lainnya di sekitar PLB Motaain tidaklah terlalu ramai, seperti aktifitas di terminal maupun pasar. Meskipun telah ada terminal dan pasar, namun keberadaanya kurang difungsikan dengan baik oleh masyarakat. Bahkan untuk terminal tidak ada mobil angkutan maupun bis yang berhenti disana. Kendaraan penumpang cenderung menurunkan dan menaikkan penumpang di jalan tidak masuk ke dalam terminal. Sementara untuk pasar telah memiliki bangunan permanen dan pernah digunakan sebagai tempat jual beli barang. Namun, hingga sekarang pasar tersebut belum difungsikan kembali sejak adanya insiden pada tahun 2002. Hal ini membuat aktivitas jual beli di pasar tersebut berhenti. Lokasi pasar umum tersebut kurang strategis karena berada paling belakang kantor militer, pos imigrasi, bea cukai, dan kantor lainnya. Mengingat PLB Mota’ain yang sangat strategis dan memiliki fasilitas yang cukup lengkap, akan sangat disayangkan apabila kedua fasilitas tersebut tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Perlu dilakukan tinjauan ulang terhadap keberadaan fasilitas tersebut, apabila memang kedua fasilitas tersebut tidak dapat menciptakan interaksi perbatasan antar kedua negara, maka lahan untuk maka fasilitas terminal maupun pasar bisa di alih fungsikan untuk dibangun fasilitas yang benar-benar dibutuhkan masyarakat perbatasan. Hal ini mengingat harga lahan yang sudah sangat tinggi di PLB Mota’ain. 

Terminal & Pasar di PLB Mota'ain
Kondisi Perekonomian
Sementara itu, untuk kegiatan perekonomian di perbatasan, hampir sebagian besar masyarakat Timor Leste berbelanja di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Sedikit sekali masyarakat perbatasan Tasifeto Timur yang berbelanja ke Timor Leste. Biasanya masyarakat Timor Leste berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti beras, daging maupun minyak sedangkan masyarakat Indonesia biasanya berbelanja minuman ke Timor Leste. Hal ini karena di Timor Leste banyak menjual minum yang di impor dari Australia maupun Korea. Ketergantungan masyarakat Timor Leste terhadap kebutuhan pokok Indonesia dapat ditemui hampir setiap hari sepanjang pekan terakhir, puluhan truk pengangkut bahan pokok serta barang kelontong melintas perbatasan Atapupu-Mota’ain menuju Batugade di Timor Leste.

Ketergantungan masyarakat Timor Leste terhadap barang-barang pokok sebenarnya menguntungkan perekonomian warga NTT khususnya di Atambua. Hal ini karena alat tukar yang digunakan masing-masing negara berbeda sehingga menyebabkan selisih harga yang cukup besar. Misalnya saja, satu ekor babi yang dijual di pasar lokal biasanya dihargai Rp 500.000, kalau dibeli masyarakat Timor Leste sekurang-kurangnya di bayar Rp 700.000. Kemudian, untuk satu karung beras isi 25 Kg yang dijual di Timor Leste harganya lebih tinggi Rp 25.000 dibandingkan dijual di wilayah Atambua. Untuk barang-barang impor seperti rokok impor dan Anggur Porto dari Australia maupun negara lainnya bisa didapati dengan mudah di wilayah perbatasan Timor Leste. Hal ini karena barang-barang tersebut terkenal di jual bebas. Rokok impor dijual hingga Rp 50.000 per bungkus dan anggur Porto isi 5 liter dijual Rp 500.000. Harga anggur impor di perbatasan lebih murah dibandingkan harga eceran di Jakarta. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia lebih suka berdagang dengan orang Timor Leste karena keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar. Keuntungan dan ketergantungan terhadap barang-barang pokok dari Indonesia, yang kemudian pemerintah Indonesia segera meresmikan perdagangan RI-RDTL.

Jenis Minuman Berakohol yang dijual bebas di warung Timor Leste
Minuman Impor dari Australia
Kondisi Keamanan
Sarana pertahanan dan keamanan yang terdapat di Tasifeto Timur berupa pos-pos penjagaan Satgas Pamtas. Pos penjagaan ini terdapat pada desa perbatasan yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Saat ini terdapat 5 pos penjagaan yang diantaranya terdapat di Desa Silawan (Pos Mota’ain 1), Desa Dafala (Pos Dafala), Desa Takirin (Pos Fatubesi), Desa Sarabau (Pos Asulait) dan Desa Tulakadi (Pos Salore). Selain itu, pada pos perbatasaan juga dilengkapi dengan pos militer yang selalu melakukan penjagaan setiap harinya. Pos penjagaan militer dilengkapi dengan barak militer, dapur, beserta kelengkapan tinggal lainnya. Kondisi barak militer tempat tinggal para tentara penjaga sudah ada yang bangunan permanen seperti di Desa Silawan (Motaain) dan Desa Dafala, sedangkan pada desa yang lain masih semi permanen. Selain pos penjagaan Satgas Pamtas, keamanan dan pertahanan antara RI dengan Timor Leste khususnya di Kabupaten Belu sudah dilengkapi dengan pilar-pilar pembatas. Pilar-pilar tersebut selalu dipantau dan dipelihara agar tidak ada pergeseran garis batas yang telah ditentukan.

Kondisi sarana pertahanan dan keamanan tersebut secara umum sudah memadai. Namun, ada beberapa kebutuhan yang perlu dilakukan untuk peningkatan kualitas sarana tersebut seperti: penyediaan listrik untuk pos-pos penjagaan tersebut, penyediaan lampu lokal/halaman, peningkatan kualitas barak yang kondisi sekarang sudah rusak dan sederhana/semi permanen, dan peningkatan akses jalan khususnya untuk pos yang berada di bagian Selatan Lokpri Tasifeto Timur.

Sementara, untuk kondisi keamanan di Tasifeto Timur dapat dikatakan relatif aman dan sudah tidak ada konflik antar masyarakat, sehingga sudah tidak saatnya lagi bagi TNI & Polri untuk menjaga di garda depan perbatasan. Hal ini juga untuk menghilangkan rasa ketakutan bagi sebagian masyarakat untuk berinteraksi di kawasan perbatasan tersebut.

Adapun masalah yang paling krusial terkait keamanan di perbatasaan Tasifeto Timur adalah penyeludupan BBM yang hingga saat ini belum terselesaikan sehingga membutuhkan perhatian semua pihak terutama aparat keamanan. Selama ini kendaraan dengan berbagai jenis dari Timor Leste lebih banyak memanfaatkan BBM khususnya premium dan solar bersubsidi. Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat di Indonesia. Banyak kendala yang dihadapi oleh petugas apabila penyelundupan melalui jalan-jalan tikus pada desa perbatasan. Salah satu kendala adalah minimnya fasilitas dan juga kondisi fisik alam yang berupa bukit. Maraknya penyelundupan BBM ke Timor Leste dipacu oleh tinggi harga dan permintaan di negara Timor Leste yang mendorong banyak orang tergiur melakukan praktek illegal.

Pemerintah sebaiknya harus membangun SPBU khusus terutama di perbatasan Motaain untuk melayani kendaraan dari Timor Leste yang sering berkunjung. SPBU Khusus berfungsi untuk melayani kendaraan yang datang maupun kembali ke Timor Leste dengan harga khusus sehingga masyarakat Timor Leste tidak lagi dengan seenaknya menggunakan BBM bersubsidi di Indonesia, khususnya Kabupaten Atambua.

Selain penyelundupan BBM, yang juga menjadi masalah keamanan di kawasan perbatasan adalah masuknya narkoba ke Indonesia dari Timor Leste. Kemungkinan masuknya narkoba ini diperparah dengan belum adanya fasilitas X-ray di pintu perbatasan untuk mendeteksi setiap barang yang masuk. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kantor Bea Cukai di Motaain, pernah ditemukan narkoba seberat 6 kg pada tahun 2010 yang diseludupkan oleh 5 orang warga Timor Leste.

Well,  to be continue in next part of Timor Leste Border Guys :*

No comments: