Sunday, October 4, 2015

Ojek Oh Ojek


Kali ini, saya ingin menumpahkan uneg-uneg tentang perkembangan ojek di Ibukota. Sangat menginspirasi untuk saya kritisi karena beberapa pertimbangan terutama semakin maraknya per-ojek-an di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang un-disiplined! Iya, salah satunya pada tarif harga yang mereka berlakukan. Terus terang aja mereka ini sudah semakin jual mahal banget apalagi kalau wilayah operasinya di daerah langganan macet. Wuuiiih harganya bisa sama kayak naik taksi dengan argometernya yang cepat banget berubah!

Maraknya ojek sekarang ini seperti maraknya Pedagang Kaki Lima (PKL) di Ibukota. Dulu, PKL dianggap sebagai masalah yang mengganggu ruang kota namun sekarang ini menjadi sektor semi-formal yang dilegalkan dengan cara pengaturan, penataan dan pengenaan retribusi yang disetorkan ke kas daerah. Memang tidak bisa dipungkiri juga, kalau sektor ini mampu memberikan lapangan usaha ditengah-tengah kondisi perekonomian bangsa yang semakin sulit, dimana lapangan kerja semakin terbatas. Lalu, kenapa saya katakan keberadaan Ojek sama dengan keberadaan PKL? Karena sesungguhnya bisnis perojekan adalah bisnis yang tumbuh secara swadaya karena bertemunya faktor permintaan dan penawaran secara bebas.

Jika kita telusuri sejarah ojek, menurut cerita orang-orang siy berasal dari kata “objek” yang kemudian dijadikan kata kerja dengan logat jawa menjadi “ngobjek”. Namun bila mengutip dari salah satu website, Ojek merupakan sepeda yang ditaksikan (W.J.S Poerwadarminta). Nah, untuk di Jakarta sendiri, ojek pertama kalinya muncul (tahun 1970) berupa ojek sepeda yang adanya di Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini dilatarbelakangi karena adanya larangan terhadap bemo dan becak masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok sehingga menyebabkan orang-orang yang mempunyai sepeda mendapat kesempatan untuk menawarkan jasa-jasanya. Nah dari sini bisa terlihat bahwa ojek ada karena adanya suatu daerah yang tidak dapat dijangkau dengan angkutan umum atau tidak dapat diakses dengan kendaraan roda empat sehingga diperlukan “feeder” atau pengumpan untuk sampai dilokasi.

Lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah ojek dibutuhkan karena adanya ketidakjangkauan suatu daerah dengan transportasi umum? Hmm, kalau menurut saya pribadi siy IYA, karena adanya daerah yang tidak dapat dijangkau dengan angkutan umum. Ditambah lagi, adanya kecendrungan orang Indonesia yang enggan “Berjalan Kaki” karena belum menjadi budaya hidup sehingga kita cenderung memilih ojek karena lebih cepat dan praktis. Apalagi di Jakarta yang semakin sumpek, panas, dan penuh polusi. Maka ojek adalah pilihan yang banyak dipilih masyarakat walaupun membutuhkan biaya yang lebih mahal.

Saat ini bisnis ojek motor di Jakarta semakin hidup dan menjamur bahkan menjadi pilihan untuk menembus kemacetan. Apalagi di fasilitasi dengan teknologi dengan munculnya “ojek online” yang dapat di booking lewat smartphone, seakan-akan membuat keberadaan ojek memang layak “diakui”. Padahal jika melihat dari regulasi yang ada, sesungguhnya ojek menjadi sebuah kontroversi sekaligus problematika system transportasi darat. Berikut beberapa cuplikan yang saya ambil dari beberapa website.




Lalu pendapat saya pribadi yang pernah belajar tentang masalah perkotaan, akar permasalahan ojek bukanlah pada tidak adanya regulasi, melainkan karena keterlambatan pihak yang berwenang dalam mengatur sistem transportasi massal. Jelas sudah terlihat latar belakang adanya ojek karena “ketidakjangkauan suatu daerah dengan transportasi umum” yang dibiarkan terlalu lama hingga kemudian berkembangnya kepemilikan kendaraan pribadi (dalam ini motor) secara massif sehingga menjadi celah untuk melayani “ketidakjangkauan daerah dengan transportasi umum” tersebut dengan menyewakan jasa motor mereka.

(So? Gak usah mencari siapa yang salah disini, karena kita paling jago kalau mencari yang salah).

Saya sendiri siy belum tau bagaimana baiknya tentang ojek ini. Karena saya sendiri pun termasuk pengguna ojek. Banyak cerita yang saya dapat dari tukang ojek yang saya tumpangi, terutama alasan mereka memilih menjadi tukang ojek. Tapi sepaham saya, perkembangan ojek ini memang harus ditahan jangan semakin banyak orang beralih profesi menjadi tukang ojek karena akan semakin sulit dikendalikan jika ojek dijadikan transportasi umum/massal.

Pandangan saya siy, untuk mengatasi masalah transportasi “ketidakjangkauan daerah dengan transportasi umum” adalah dengan memperbaiki “Struktur Ruang Kota” dan “Perbaikan dan peremajaan kendaaraannya serta peningkatan pelayanan transportasi umum”. Nah, untuk peningkatan pelayanan transportasi umum sepertinya sudah dilakukan oleh pemerintah, tetapi untuk peremajaan kendaraannya masih sangat belum. Masih banyak banget kendaraan umum di Jakarta yang jauh dari kata layak, aman dan nyaman. Kemudian, terhadap struktur ruang kota sepertinya memang perlu “evaluasi struktur ruang kota”. Bagi saya ini penting, karena inilah kunci pembentuk ruang kota yang teintegrasi. Selama ini yang terjadi, pembangunan kota kurang melihat dari struktur ruang kotanya padahal Struktur ruang kota sudah ada dalam dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), tetapi memang ini masih sangat kurang aplikatif terhadap perubahan tata guna lahan.

Sekian dulu cerita saya di siang yang sangat panas ini yaa.

No comments: